Beranda | Artikel
Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2)
Jumat, 26 April 2024

Kedua: Keterbatasan sains

Sebagaimana maksud Al-Qur’an dan derajat validitas hadis bertingkat-tingkat kepastiannya, ada yang benar dan ada yang salah, serta ada yang sahih dan ada yang lemah, begitu pula sains. Tidak semua kesimpulan sains mendapat predikat aksiomatik atau dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian.

Sains dibangun berdasarkan argumen induktif. Argumen induktif didasarkan pada asumsi bahwa masa depan akan berlaku serupa dengan masa lalu, yang berarti alam semesta memiliki suatu pola. Ilmuwan sangat bertumpu pada prinsip ini untuk menyimpulkan data yang telah diobservasi. Akan tetapi, karena observasi dilakukan terbatas pada sekumpulan data, maka mengambil kesimpulan berdasarkan data yang terbatas itu tidak akan mencapai kepastian mutlak. Artinya, selalu ada celah untuk menyatakan suatu kesimpulan observasi tidak valid atau tidak sejalan dengan realita. Bahkan, kesimpulan penelitian di masa depan bisa jadi menggagalkan kesimpulan penelitian sekarang.

Dalam sejarahnya, kesimpulan-kesimpulan sains banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, konsensus ilmuwan fisika sepakat menggunakan model alam semesta Newton. Tidak ada yang membuat konsep tandingan selama 200 tahun, karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang terbukti secara saintifik. Akan tetapi, teori mekanika kuantum dan relativitas umum mengubah teori Newton tersebut. Mekanika Newton mengasumsikan ruang dan waktu sebagai dua hal yang tak berubah dan stagnan, tetapi Albert Einstein menjelaskan bahwa keduanya bersifat relatif dan dinamis. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, model alam semesta Einstein menggantikan model alam semesta Newton. Maka dari itu, dengan sedikit menengok sejarah sains, akan memberikan wawasan kepada kita terhadap keterbatasan sains yang biasa disebut the problem of induction, yaitu observasi yang baru selalu berkemungkinan berlawanan dengan kesimpulan sebelumnya.

Contoh lainnya adalah pemahaman tentang keabadian alam semesta. Sampai sekitar tahun 1950, semua fisikawan, termasuk Einstein, percaya bahwa alam semesta bersifat kekal berdasarkan observasi pada data-data yang diperoleh. Akan tetapi, kesimpulan ini bertentangan secara langsung dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an secara gamblang menyatakan alam semesta memiliki awal dan tidak kekal. Kemudian diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan teleskop yang lebih mutakhir. Para fisikawan perlahan meninggalkan model alam semesta kekal (Steady State Model) dan beralih dengan model alam semesta Ledakan Dahsyat (The Big Bang) yang menyatakan alam semesta memiliki awal sekitar 13,7 miliar tahun lalu, sehingga sains berubah menjadi sejalan dengan Al-Qur’an.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kesimpulan sains didasarkan pada argumen induktif. Argumen induktif tidak akan mengantarkan kepada kepastian, sehingga sesuatu yang disebut sebagai sains tidak bisa dianggap sesuatu yang absolut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa diragukan lagi, seperti kebulatan bumi, keberadaan gravitasi, dan bentuk orbit yang melingkar.

Oleh karena itu, seseorang tidak perlu panik apabila sains terlihat bertentangan dengan dalil agama dalam menjelaskan suatu fenomena alam. Seseorang tidak perlu bingung, kemudian malah menolak ayat atau hadis sahih karena tidak sejalan dengan sains. Sebab, dengan begitu, berarti dia mengasumsikan kesimpulan sains selalu benar secara absolut dan tidak akan berubah. Hal ini tentu saja keliru. Akan tetapi, memahami konsep seperti ini tidak membuat seseorang menjadi antisains. Bayangkan jika ilmuwan tidak diperkenankan untuk menantang kesimpulan sebelumnya, maka sains tidak akan mengalami progres.

Apakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti?

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sains dan dalil agama memiliki kepastian yang bertingkat-tingkat. Maka, kemungkinan terjadinya pertentangan antara keduanya adalah sebagai berikut:

  1. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka dimenangkan dalil yang pasti. Sebagaimana pada contoh model alam semesta kekal yang bertentangan dengan berbagai ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah adalah pencipta alam semesta, sehingga alam semesta memiliki awal. Maka, dimenangkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena kesimpulan sains tidak pasti dan mengalami perubahan.
  2. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka dimenangkan sains yang pasti. Sebagaimana pada hadis benarnya ucapan orang yang bersin, yang merupakan hadis sangat lemah atau palsu, sehingga dimenangkan sains. Sebab, observasi sederhana saja sudah dapat menjelaskan bahwa ada orang yang bersin, tetapi tetap berbohong.
  3. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka diadakan penelitian terhadap keduanya lalu dimenangkan sisi yang paling kuat validitasnya.
  4. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka hal ini mustahil terjadi. Hal ini dikarenakan Allah adalah pencipta alam semesta ini, sehingga Allah Ta’ala-lah yang paling mengetahui kondisi alam ini. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan hakiki antara suatu fenomena alam dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, keduanya merupakan ayat Allah. Alam semesta merupakan ayat kauni, sedangkan Al-Qur’an merupakan ayat syar‘i. Keduanya bersumber dari Allah, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Bahkan, Al-Qur’an pasti akan selalu sejalan dan mengonfirmasi sains yang pasti. Misalnya, keberadaan orbit atau garis edar benda langit seperti bulan, bumi, dan matahari dikonfirmasi oleh Al-Qur’an dalam surah Yasin ayat 38-40 berikut,

وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ  وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ  لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ 

Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 38-40)

Kembali ke bagian 1: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: Bersambung

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho


Artikel asli: https://muslim.or.id/93301-apakah-sains-bertentangan-dengan-agama-bag-2.html